- Deforestasi kini kembali mencuat di Tanah Air pasca komisi Uni Eropa (UE) menyetujui UU produk bebas deforestasi.
- Dengan ini, tentu produk andalan Indonesia, salah satunya Sawit terancam tak bisa diperdagangkan di Indonesia.
- Sawit Indonesia terancam dengan UU Deforestasi
Jakarta, CNBC Indonesia – Komisi Uni Eropa (UE) pada 6 Desember 2022 lalu menyetujui Undang-Undang (UU) produk bebas deforestasi.
Begitu diadaptasi dan diimplementasikan, UU ini akan menutup rantai pasok yang masuk ke kawasan itu dari produk-produk yang dianggap menyumbang deforestasi dan degradasi lahan.
Dengan kebijakan baru ini, setiap perusahaan yang memasok minyak sawi, sapi, kedelai, kakao, kayu dan karet, serta produk turunannya seperti cokelat, daging sapi, hingga furniture.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan pemasok minyak sawit terbesar di dunia dan merupakan salah satu produsen kakao, kayu, dan karet dunia.
Lagi-lagi yang menarik untuk di bahas adalah sawit. Sejauh ini, Indonesia masih merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia hal ini.
Hal ini sejalan dengan data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) yang mencatatkan Indonesia menempati urutan permana dengan jumlah produksi mencapai 45,5 juta metrik ton pada 2022.
Posisinya berada di atas Malaysia dan Thailand yang memproduksi masing-masing sebesar 18,8 juta metrik ton dan 3,26 juta metrik ton pada 2022.
Berdasarkan data Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatatkan total produksi minyak sawit mentah atau disebut Crude Palm Oil di Tanah Air tahun 2022 sebesar 46,73 angka ini turun 0,34% secara (year on year-yoy).
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa produksi CPO di Indonesia mengalami koreksi 3 tahun terakhir.Penurunan produksi berkisar antara 0,3% sampai 0,34% dan memang yang paling dalam terjadi tahun 2022.
Kendati demikian, kalau kita bicara penurunan sejak tahun 2014, penurunan 3 tahun terakhir ini terbilang masing sangat kecil jika dibandingkan pada 2016 yang mencatatkan koreksi lebih dari 3%.
Di sisi lain, sawit berkontribusi dalam ekonomi negara melalui pendapatan dan penyerapan tenaga kerja.
Pendapatan negara dari adanya industri kelapa sawit antara lain adalah; devisa hasil ekspor – yang diperoleh dari ekspor produk turunan kelapa sawit misalnya, Ppn alias Pajak pertambahan nilai diperoleh dari barang turunan atau kelapa sawit yang telah diolah yang dibayar oleh konsumen akhir.
Selain itu ada pula Pph 21 yakni Pajak penghasilan sesuai dengan pasal 21 diperoleh melalui pajak yang dibebankan pada penghasilan perusahaan, perorangan, atau badan hukum lainnya yang terkait dengan industri kelapa sawit. Dan Pph 23 yakni pajak yang dibebankan atas penghasilan dari modal (dividen).
Namun, kini komoditas ini kembali terancam. Undang-undang produk bebas deforestasi itu bakal melarang penjualan sawit dan komoditas lain yang terkait dengan deforestasi.
Mengapa Sawit Erat Kaitannya Dengan Isu Deforestasi?
Sebelum lebih jauh, perlu diketahui bahwa deforestasi merupakan istilah terkenal jika membahas tentang hutan.
Secara sederhana deforestasi juga didefinisikan sebagai perubahan tutupan suatu wilayah dari berhutan menjadi tidak berhutan, dari suatu wilayah yang sebelumnya memiliki bertajuk berupa hutan (vegetasi pohon dengan kerapatan tertentu) menjadi bukan hutan (bukan vegetasi pohon atau bahkan tidak bervegetasi).
Definisi tersebut diperkuat dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang menyatakan secara tegas bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen areal hutan menjadi tidak berhutan yang disebabkan oleh kegiatan manusia.
Eratnya kaitan sawit dengan isu deforestasi didukung dengan banyaknya penelitian hubungan antara ekspansi perkebunan sawit dan dampaknya terhadap deforestasi.
Penelitian terkait deforestasi dari perkebunan skala besar di Indonesia telah banyak dilakukan (Uryu et al. 2008; Koh & Wilcove 2008; Koh et al. 2011; Carlson et al. 2012; Miettinen et al. 2012; Obidzinski et al. 2012; Gunarso et al. 2013; Lee et al. 2014; Tarigan et al. 2015). Wicke et al. (2011) melaporkan bahwa dari 9,7 juta deforestasi yang terjadi selama kurun waktu 1997-2003, sebesar 27 % (2.6 juta ha) telah diubah menjadi kelapa sawit.
Tetapi besaran persentase ini diduga cenderung lebih rendah karena terdapat tutupan lahan lainnya yang telah dikonversi menjadi kelapa sawit, seperti lahan terdegradasi dan perkebunan.
Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit pada akhirnya akan mengkonversi kawasan hutan, khususnya pada lahan gambut. Sehingga akan menyebabkan degradasi lahan (kerusakan lahan) dimana lahan mengalami penurunan produktivitas.
Pembakaran lahan pada saat deforestasi juga akan menyebabkan peningkatan emisi karbon yang berakibat meningkatnya intensitas efek gas rumah kaca pada atmosfer.
Hal ini membuat panas matahari terperangkap di bumi sehingga kondisi mengalami pemanasan secara global. Jika hal ini terjadi secara terus menerus, akan menyebabkan climate change.
Di sisi lain, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menuduh perkebunan kelapa sawit penyebab deforestasi itu hanya ilusi.
Mengutip dalam catatan yang ditulis GAPKI pada website-nya, tuduhan deforestasi yang digaungkan Eropa kepada sawit Indonesia tidak tepat. Terlebih pemahaman definisi hutan yang Eropa pahami berbeda dengan yang ada di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, menurut GAPKI didefinisikan sebagai suatu hamparan lahan yang di dominasi pepohonan dan juga kawasan yang secara administrasi ditetapkan sebagai hutan.
Sedangkan FAO yang diadopsi Eropa menyatakan hutan sebagai lahan dengan luas minimal 0,5 ha dengan ketinggian minimal 5 meter dan membentuk kanopi lebih dari 10%.
Oleh sebab itu, jika merujuk definisi hutan Eropa di mana tutupan lahan 10% masuk definisi hutan, di Indonesia tidak ada lahan yang tidak tertutup. Meski sudah berstatus APL, jika memenuhi kriteria definisi hutan FAO, ketika namanya diganti sawit Indonesia tetap dianggap deforestasi.
Di sisi lain, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menuduh perkebunan kelapa sawit penyebab deforestasi itu hanya ilusi.
Mengutip dalam catatan yang ditulis GAPKI pada website-nya, tuduhan deforestasi yang digaungkan Eropa kepada sawit Indonesia tidak tepat. Terlebih pemahaman definisi hutan yang Eropa pahami berbeda dengan yang ada di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, menurut GAPKI didefinisikan sebagai suatu hamparan lahan yang di dominasi pepohonan dan juga kawasan yang secara administrasi ditetapkan sebagai hutan.
Sedangkan FAO yang diadopsi Eropa menyatakan hutan sebagai lahan dengan luas minimal 0,5 ha dengan ketinggian minimal 5 meter dan membentuk kanopi lebih dari 10%.
Oleh sebab itu, jika merujuk definisi hutan Eropa di mana tutupan lahan 10% masuk definisi hutan, di Indonesia tidak ada lahan yang tidak tertutup. Meski sudah berstatus APL, jika memenuhi kriteria definisi hutan FAO, ketika namanya diganti sawit Indonesia tetap dianggap deforestasi.
Moratoriun ini telah dilaksanakan sejak tahun 2011 dan terus diperpanjang hingga terakhir tertuang pada Inpres No 8 tahun 2018 Tentang penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang diteken Jokowi pada 19 September 2018.
Meski demikian, perkebunan sawit tetap saja memunculkan dampak negatif. Untuk mengurangi dampak negatif industri kelapa sawit terhadap lingkungan, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai mitigasi atau mengurangi emisi karbon.
Diantaranya adalah melakukan evaluasi kesesuaian lahan, yaitu dengan mengidentifikasi karakteristik lahan gambut sebelum melakukan deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan.
Selain itu, juga dapat mengaplikasikan teknik zero burning yaitu teknik pembukaan lahan tanpa melakukan pembakaran pada lahan.
Tentunya, untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan juga diperlukan dukungan kebijakan pemerintah. Salah satunya yaitu telah dikeluarkannya Permentan No.11 Tahun 2015 tentang penerapan ISPO atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Penerapan ISPO dimaksudkan untuk menjamin keberlanjutan perkebunan kelapa sawit melalui penerapan 7 prinsip dan kriteria. Pengelolaan lahan gambut dalam ISPO didukung dengan peraturan Permentan No.14 Tahun 2009 dan Inpres No. 10 Tahun 2011.
Sumber Berita : cnbcindonesia.com